Pada suatu hari, ada seseorang menangkap burung. Burung itu berkata
kepadanya, Aku tak berguna bagimu sebagai tawanan. Lepaskan saja aku. Nanti aku
beri kau tiga nasihat.
Si burung berjanji akan memberikan nasihat pertama ketika berada dalam
genggaman orang itu. Yang kedua akan diberikannya kalau ia sudah berada di
cabang pohon dan yang ketiga ketika ia sudah mencapai puncak bukit.
Orang itu setuju, lalu ia meminta nasihat pertama. Kata burung itu, Kalau kau
kehilangan sesuatu, meskipun engkau menghargainya seperti hidupmu sendiri,
jangan menyesal.
Orang itu pun melepaskannya dan burung itu segera melompat ke dahan.
Disampaikannya nasihat yang kedua, Jangan percaya kepada segala yang
bertentangan dengan akal, apabila tak ada bukti.
Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari sana ia berkata, Wahai
manusia malang! Dalam diriku terdapat dua permata besar, kalau saja tadi kau
membunuhku, kau akan memperolehnya. Orang itu sangat menyesal memikirkan
kehilangannya, namun katanya, setidaknya, katakan padaku nasihat yang ketiga
itu!
Si burung menjawab, Alangkah tololnya kau meminta nasihat ketiga sedangkan
yang kedua pun belum kau renungkan sama sekali. Sudah kukatakan padaku agar
jangan kecewa kalau kehilangan dan jangan mempercayai hal yang bertentangan
dengan akal. Kini kau malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang tak
masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Aku pun tidak cukup besar untuk menyimpan
dua permata besar! Kau tolol! Oleh karenanya kau harus tetap berada dalam
keterbatasan yang disediakan bagi manusia.
(Catatan: Dalam lingkungan darwis, kisah ini dianggap sangat penting untuk
mengakalkan fikiran siswa sufi, menyiapkannya menghadapi pengalaman yang tidak
boleh dicapai dengan cara-cara biasa. Di samping penggunaannya sehari-hari di
kalangan sufi, kisah ini terdapat juga dalam karya klasik Rumi, Matsnawi. Kisah
ini juga ditonjolkan dalam Kitab Ketuhanan karya Fariduddin Aththar, salah
seorang guru Rumi. Kedua tokoh sufi itu hidup pada abad ketiga belas.)